RI Bakal Alami Kiamat Properti? Bener atau Gak Ya?

Oleh Agus FZ, 12 Okt 2022
Dengan berakhirnya insetif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) pada akhir September 2022 lalu, akankah berdampak pada pemulihan sektor properti tahun ini?

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.010/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2022 yang berlaku hingga 30 September 2022. Hal tersebut tentunya, menjadi pemberat pemulihan sektor properti.

Ditambah, prediksi pasar bahwa bank sentral utama yakni Federal Reserve/The Fed akan kembali agresif menaikkan suku bunga acuannya untuk meredam angka inflasi AS yang masih tinggi.

Melasir alat ukur FedWatch, sebanyak 80% pelaku pasar melihat The Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bps) pada pertemuan selanjutnya di November 2022 dan membawa tingkat suku bunga Fed menjadi 3,75%-4%.

Jika benar hal tersebut terjadi maka selisih dengan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI) akan semakin menipis. Diketahui, tingkat suku bunga BI saat ini berada di 4,25%, sehingga selisihnya akan menjadi 50 bps. Sehingga, tentunya akan menambah tekanan terhadap BI untuk mengekor keagresifan The Fed untuk menghindari volatilitas nilai tukar rupiah dan capital outflow.

Potensi kenaikan suku bunga oleh The Fed dan BI, akan menjadi katalis negatif tambahan karena tingkat suku bunga kredit juga berpotensi naik.

Selain itu, potensi inflasi yang meninggi juga masih membayangi. Bahkan, BI memproyeksikan laju ekspektasi inflasi tahun ini bisa mencapai 6,5% (year on year/yoy). Melonjaknya inflasi salah satunya disebabkan karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Deputi Gubernur BI Aida S Budiman menjelaskan, ekspektasi inflasi dengan kenaikan harga BBM akan mendorong naiknya tarif angkutan, yang merupakan salah satu indikator di dalam keranjang inflasi dalam negeri.

“Ini menyebabkan ekspektasi inflasi meningkat akhir tahun 6,5%, jauh lebih tinggi dari target inflasi keputusan pemerintah dan BI sebesar 3% plus minus 1%,” jelas Aida dalam Diskusi Publik bertajuk ‘Memperkuat Sinergi untuk Menjaga Stabilitas Perekonomian, Rabu (28/9/2022).

Tingginya angka inflasi tersebut tentunya akan menggerus daya beli masyarakat karena harga produk dan jasa menjadi lebih mahal.

Lantas, bagaimana kinerja saham emiten properti dan real estate tahun ini?

Melansir Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks sektoral properti di sepanjang tahun ini masih terkoreksi 10,96% ke posisi 688,34. Penurunan tersebut membuat indeks tersebut menjadi indeks yang terkoreksi paling tajam kedua setelah indeks teknologi.

Sementara itu, saham empat emiten properti Tanah Air seperti PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Ciputra Development Tbk (CTRA) dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), juga melemah di sepanjang tahun ini. Sedangkan, PT Intiland Development Tbk (DILD) berhasil menguat 11,54% secara year-to-date (ytd).

Saham 1D 1W 1M 3M YTD
DILD 0.00% 1.16% -10.77% 19.18% 11.54%
PWON -1.33% -1.33% -8.23% -1.33% -3.45%
BSDE -0.55% 0.55% -5.21% 0.55% -9.90%
CTRA 1.59% 0.52% -4% 16.36% -1.03%
SMRA -1.69% -2.52% -10.08% 4,5% -30.54%

Di sepanjang tahun ini, saham DILD mengalami kenaikan paling pesat dibandingkan dengan keempat saham properti dengan kapitalisasi pasar besar lainnya. Namun, secara kinerja perseroannya, pada semester I-2022, DILD mencatatkan kinerja yang kurang memuaskan, di mana rugi bersih emiten properti ini melesat menjadi Rp 162,92 miliar dari periode yang sama tahun lalu di Rp 23,13 miliar.

Di saat bersamaan, DILD membukukan pendapatan usaha turun 14,13% menjadi Rp 960,4 miliar dari semester I-2021 di Rp 1,11 triliun.

Kenaikan saham DILD, disinyalir karena Lo Kheng Hong membeli sebanyak 6,28% saham perusahaanya dengan kepemilikan senilai 651,42 juta pada 12 Agustus 2022 silam.

Sebaliknya, saham SMRA terkoreksi paling tajam di sepanjang tahun ini hingga mencapai 30,54% dan kini harga sahamnya di banderol Rp 585 pada pukul 14:53 WIB.

Kemudian, saham emiten BSDE juga terpantau melemah 9,9% di sepanjang 2022. Saham PWON juga ambles 3,45% dan saham CTRA turun 1,03% secara ytd.

Meskipun banyak katalis negatif pada sektor properti pada tahun ini, tapi jika menilik kinerja emiten-emitennya, mayoritas masih berhasil membukukan pendapatan yang ciamik pada semester I-2022.

Analis BRI Sekuritas Victor Stefano menilai bahwa penjualan pada sektor properti dibantu oleh regulasi makro yang mendukung, di mana level Suku Bunga Dasar Kredit menurun dan adanya kebijakan insetif PPN DTP membuat sektor properti menjadi lebih menarik.

Selain itu, lonjakan harga beberapa komoditas seperti batu bara dan crude palm oil/cpo pada pertengahan tahun ini, tampaknya juga berperan dalam meningkatkan upah para pekerja dan meningkatkan daya beli di sektor properti.

Namun, dengan berakhirnya insentif PPN DTP, potensi kenaikan suku bunga acuan, prediksi inflasi yang akan terus meninggi, dan pelemahan harga komoditas-komoditas tentunya akan mempengaruhi permintaan akan properti ke depannya.

Sementara, perusahaan konsultan properti Colliers menilai bahwa prospek properti ritel di Indonesia pada tahun ini akan bangkit lebih cepat dibandingkan dengan sektor perkantoran dan apartemen karena didukung oleh mobilitas dan permintaan konsumen.

Senada, analis Cipta Dana dalam risetnya pada 6 Oktober 2022, menilai bahwa saham properti ritel PWON masih cukup menarik karena emiten tersebut menghasilkan sebanyak 65% dari total pendapatan dari sewa properti. PWON juga diketahui memiliki beberapa pusat perbelanjaan.

Sumber: cnbc

Artikel Terkait

Artikel Lainnya

 
Copyright © AgusFauzy.com
All rights reserved